Eksistensi Mata Rantai Bullying Di Generasi Millenial



Peristiwa bullying seakan tidak pernah habis dari kanal berita dan kehidupan sehari. Setiap hari bahkan setiap detik, kita menemui berita-berita di koran, internet dan media sosial dengan headline bullying. Seperti yang kita tahu bahwa bullying berasal dari kata ‘bully’ yang artinya menggertak. Bila didefinisikan secara panjang bullying ialah tindakan penggertakan, ancaman, agresi berulang secara fisik dan verbal kepada seseorang atau kelompok tertentu. Dalam bullying dikenal posisi superior (pelaku) dan inferior (korban). Dampak tindakan bullying ini menyebabkan gangguan psikis dan fisik yang dialami si korban dan efeknya mungkin akan dikenang seumur hidup oleh si korban.
Bullying dapat terjadi pada semua orang, semua aspek kehidupan dan tidak mengenal mengenal lokasi. Tidak mengenal lokasi disini adalah bullying tidak memandang terjadi di Negara terbelakang, berkembang atau Negara maju sekalipun pada faktanya masih banyak peristiwa kekerasan diakibatkan bullying. Sepertinya bullying telah menjadi budaya yang telah mendarah daging di Indonesia dan Negara-negara di dunia. Pada hakikatnya tindakan bullying bersifat menular dan timbul dari sifat iri dan risih. Iri jika orang lain memiliki kelebihan, prestasi  yang melebihi dari dirinya sehingga dia mengajak massa untuk membully dengan alih menyebarkan rumor buruk. Rishi jika orang lain berbeda dari dirinya baik secara kasta, kekayaan, intelektual dan fisik. Jika sebelumnya dia telah dibully dan dia berada dilingkungan baru maka dia melakukan tindakan pembalasan supaya orang lain dapat merasakannya. Seperti kasus masa orientasi siswa dan mahasiswa saat menjadi mahasiswa baru. Kasus ini bisa disebut ajang senioritas menindas junior supaya si junior patuh pada peraturan kampus. Namun, ajang senioritas menjadi berlebihan karena melibatkan kekerasan verbal yang merendahkan mental siswa. Bukan hanya kekerasan verbal tetapi juga kekerasan fisik seperti penyiksaan dengan dalih si junior melanggar peraturan yang dibuat oleh si senior. Seperti kasus meninggalnya mahasiswa baru IPDN di tahun 2010 silam pada saat kegiatan orientasi pengenalan kampus berlangsung. Mirisnya dia meninggal karena dihukum oleh senior-seniornya akibat korban melanggar peraturan kampus dan dilecehkan secara verbal. Solusi diharapkan untuk mengurangi tindakan bullying dari semua pihak seperti orang tua, guru, pemerintah dan masyarakat supaya bullying tidak menjadi momok mengerikan bagi siswa khususnya anak-anak.
 Indonesia menempati urutan pertama dengan kasus bullying terbanyak berdasarkan survey yang dilakukan oleh United Nation International Children’s Emergency Fund (UNICEF) pada 2016 untuk soal kekerasan pada anak. Selain itu Untuk urusan kekerasan di sekolah, Indonesia menempati posisi pertama dengan 84%. Jumlah lebih banyak dibandingkan Vietnam dan Nepal yang sama-sama mencarat 79%, disusul kemudian Kamboja (73%) dan Pakistan (43%). Dilansir dari situs malangtoday.net (22/9/2018) dari Departemen Pendidikan melaporkan bahwa 84 % siswa pernah mengalami tindakan kekerasan yang dengan kata lain berarti setiap 8 dari 10 siswa pernah mengalami kekerasan Peristiwa bullying yang paling mencolok ditemukan ialah di bullying di dunia pendidikan. Dari tahun ke tahun kasus bullying di Indonesia semakin meningkat.

 





Gambar 1. Perkembangan Kasus Bullying 2013-2018 (malangtoday,net)
 



Biasanya tindakan bullying ini sering dilakukan  disekolah, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan diluar lingkungan sekolah. Tindakan bullying ini jarang dilakukan secara perorangan, lebih sering dilakukan secara berkelompok. Motif dari tindakan bullying bermacam-macam bisa dari perbedaan status social dan kekayaan orang tua, keterbatasan fisik dan keterbatasan intelektual, body shaming (membandingkan kelebihan dan kekurangan fisik), prestasi yang diraih dan sebagainya.  Faktor minimnya kekayaan orang tua salah satunya  menjadi alasan pelaku membully korban dengan mengolok-olok korban dengan sebutan miskin. Walaupun siswa (korban) mendapat beasiswa  untuk bersekolah di sekolah elit tetap saja tidak mampu menyelamatkan koran dari bullying. Selain mencela korban, pelaku mengucilkan korban dari pergaulan. Korban merasa terdiskriminasi, tertutup, minder dan prestasi akademik menurun. Apalagi jika korban memiliki sifat pemikir dan introvert pastinya akan menjadi pukulan psikis, trauma berkepanjangan bahkan bunuh diri. Dilansir dari situs berita Okezone.com (2/8/2017), seorang siswi bernama Elva Susanti dari SMA I Bangkinang, Kabupaten Kampar Riau nekat terjun ke sungai Kampar dan akhirnya meninggal dunia lantaran sering dibully teman-temannya karena berasal dari keluarga miskin. Dan yang lebih naas lagi, guru bukannya menjadi contoh panutan dan pelindung yang baik bagi siswa justru malah membully siswanya. Seperti yang dilansir dari situs berita mediasurya.com ()Fabianus Keko (16), siswa kelas III SMP Negeri 2 Satap Waiwaru, dilarikan ke rumah sakit setelah ketahuan menenggak racun rumput lantaran dihina oleh guru bahasa Indonesia di hadapan teman-temannya. Dia dihina orang miskin, rumahnya seperti kandang babi dan berasal dari keturunan tidak jelas. Sudah tidak dapat dibantah lagi bahwa efek bullying ini sangat mematikan mental dan kreativitas para siswa. Semua kasus di atas yang menghentak dunia pendidikan menimbulkan berbagai pertanyaan ada apa gerangan dalam dunia pendidikan saat ini? Sesuatu pertanyaan yang memerlukan jawaban oleh orang–orang yang berada di lingkup dunia pendidikan seperti guru, dosen, kepala sekolah. Rektor ataupun siapa saja yang berada di lingkungan pendidikan yang merupakan ujung tombak pembentukan karakter bangsa ini. Kasus ini juga menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah sebagai Stake Holder dalam pendidikan bagaimanakah membenahi dunia pendidikan yang merupakan pencetak sumber daya manusia unggul yang merupakan generasi penerus pembangunan negeri ini ke arah yang lebih baik.



Comments

Popular posts from this blog

Apa yang dimaksud dengan "Phile' ? dan Ketahui Jenis-jenis 'phile'

Mahasiswa UB Ubah Paitan Jadi Akarisida Pengendali Hama Tungau

Susahnya Jadi Relawan, Kriterianya Tak Inklusif