Susahnya Jadi Relawan, Kriterianya Tak Inklusif
Ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial “ (pembukaan UUD 1945
alinea ke-4).
Kalimat di atas bisa dimaknai bahwa Setiap warga Negara
wajib berpartisipasi memelihara perdamaian melalui aksi kemanusiaan. Apapun
umur, pangkat, status, pendidikan dan warna kulit tidak menjadi penghambat
manusia peduli dengan sesamanya. Ada
atau tidak adanya bencana maupun permasalahan, sudah sewajarnya, manusia harus
berempati. Wujud empati bisa berupa apa saja tidak hanya uang dan materi namun
perkataan, pemikiran dan tenaga bisa kita berikan.
Seperti yang kita ketahui, dua tahun yang lalu, wabah
covid-19 melanda Indonesia secara masif. Korban jiwa banyak berjatuhan akibat
penularan virus ini. Sehingga mengakibatkan aktivitas bekerja dan belajar
mengajar harus dilakukan secara online.
Hal tersebut juga terjadi pada pelaksanaan proyek sosial dan kerelawan.
Sejumlah komunitas sosial berusaha beradaptasi dengan situasi yang tak
terpediksi seperti ini. mau tidak mau kegiatan sepert rapat dan brainstorming untuk koordinasi
menggunakan zoom dan google meet. Proses rekrutmen relawan/pengurus komunitas
juga terpaksa dilaksanakan secara online. Kendala sinyal jaringan yang tak
stabil tidak menghalangi antusiasme mereka untuk terlibat aksi kerelawanan.
Namun, dibalik itu semua ada manfaat positifnya seperti HRD komunitas bisa
menjangkau pendaftar kerelawanan dari seluruh Indonesia. Cukup memasang postingan
info rekrutmen di media sosial dan akun paid promote, dijamin info cepat
tersebar luas.
Informasi rekrutmen relawan tentunya berisi kriteria,
posisi dan deskripsi pekerjaan dari masing-masing posisi. Adapun kriteria
biasanya mematok batasan umur, jenis kelamin maupun durasi pengalaman. Beberapa
relawan merasa adanya kriteria seperti batasan umur dan durasi pengalaman
sangatlah diskriminatif. Peminat kegiatan relawan di Indonesia tertinggi
berasal dari gen Z dan milenial. Rentang
usia dua generasi tersebut berada pada usia 18-30. Namun kebanyakan komunitas
mematok usia 25 tahun sebagai usia maksimal diperbolehkan untuk medaftar.
Padahal orang-orang dengan usia lebih dari 25 tahun belum tentu sudah bekerja
bahkan ada yang masih lulus S2. Alhasil, mereka mencari pengalaman kerelawanan supaya
wawasan dan skill meningkat. Hal ini sesuai dengan data dari BPS, pengangguran
dari universitas meningkat sebanyak 6,2 % di tahun 2019, diperkirakan akan
bertambah mengingat banyak perusahaan bangkrut karena pandemik.
Jangankan kerelawanan, magang pun juga mematok batas umur
dan pengalaman. Hal ini dirasa menyulitkan freshgraduate
yang belum punya pengalaman mumpuni. Alhasil, mereka bisa menganggur selama dua
tahun karena ditolak oleh syarat administrasi yang memuakkan tersebut. Menurut
pendaftar kerelawanan dan magang, ini merupakan hal aneh. Seharusnya Negara
bisa menjamin kemakmuran dan keinginan warga negaranya. Paling tidak berikan
pelatihan skill gratis bagi mereka. Bagi komunitas/perusahaan, boleh memasang
kriteria itu tetapi pastikan proses rekrutmen benar terpercaya tanpa ada suap.
Memang komunitas atau perusahaan menjaring SDM dengan skill
dan attitude mumpuni. Menurut hasil wawancara dengan X, HRD salah satu
komunitas menjelaskan komunitas tidak ingin rugi jika relawan yang terpilih
melakukan pelanggaran dengan tidak mengerjakan jobdescnya dan hanya menumpang nama saja. Bukan diskriminatif dan
tidak inklusif tetapi lebih ke selektif. Selain itu, penyeleksian relawan
secara ketat dapat memudahkan manajemen dan koordinasi saat bertugas. Jadi,
para relawan jangan putus asa ketika ditolak, bila perlu jadi founder untuk
komunitasmu sendiri.
Comments