Humble Bragging dan Kaitannya dengan Toxic Positivity

 


Jika zaman dahulu orang-orang dengan kasta lebih tinggi memamerkan kekayaan, pendidikan dan status social ke orang lain. Ditambah kadar kepameran melebihi seharusnya. Orang biasa menyebutnya sombong. Orang sombong identik memamerkan apa yang mereka punya secara  eksplisit. Orang sombong identik dengan riya untuk mendapat pujian orang lain. Walaupun konotasi kata sombong lebih negatif dari riya’. Orang riya’ mungkin masih memperoleh pujian namun orang sombong memperoleh cercaan.  Sikap riya’ ternyata membuat orang lain insecure. Orang yang insecure akan merasa rendah diri terhadap identitas dan potensi dirinya sendiri. Namun di era sekarang, orang menunjukkannya tidak secara eksplist. Apalagi dibantu dengan media sosial yang memuluskan aksi. Kita tahu bahwa media sosial membantu orang-orang untuk mengeskspresikan kebahagiaan. Tidak ada orang yang membagikan kesedihan atau pengalaman tragis. Tujuannya  supaya menarik perhatian orang lain untuk sekedar menekan tanda ‘hati’ di postingan mereka. Mungkin orang yang ingin pamer tidak menuliskan kata-kata ‘ini loh pencapaianku’, ‘ini loh hartaku sehingga bisa travelling kemana pun’. Sekarang konteksnya tidak begitu, orang akan tetap memposting apa yang mereka raih namun menggunakan ungkapan berbau rendah hati.jadi istilah kasarnya pamer terselubung.

Fenomena pamer terselubung disebut juga humble bragging. Humble bragging adalah sikap memamerkan kelebihan diri secara terselubung. Seseorang yang kerap melakukan humble bragging biasanya mengatakan hal yang saling bertolak belakang dengan niat aslinya. Humble artinya merendahkan, merakyat dan berusaha membuat dirinya sama agar diterima orang lain. Bragging  berasal dari kata ‘brag’ yang artinya berlagak membual. Kalau di Indonesia humble bragging diidentikkan dengan ungkapan merendah untuk meroket. Misal ada seorang siswa memuji temannya karena mendapat nilai ujian tertinggi di sekolahnya. Kemudian yang dipuji membalas dengan menjawab ‘ah engga, aku lho banyak main malah ga rajin belajar’. Jika disimak dari sudut pandang orang ketiga tentang jawaban dari siswa yang dipuji, maka ada tiga pendapat. Pendapat pertama, orang menganggap jika jawaban siswa tersebut menunjukkan prilaku rendah hati. Pendapat kedua, orang menganggap siswa tersebut sengaja riya biar ingin dipuji orang lain. Pendapat ketiga, orang merasa rendah diri atas pencapaian siswa yang dipuji temannya. Perspektif manusia sangatlah beragam dan semua sisi memiliki benarnya masing-masing.  Tetapi disini sisi pendapat ketiga perlu digaris bawahi,

Merujuk dari pendapat ketiga, humble bragging membuat orang lain merasa insecure. Orang yang insecure juga mengalami toxic positivity. Seperti yang kita tahu bahwa toxic positivity adalah sesuatu positif yang seharusnya membuat orang merasa positif tetapi justru malah merasa insecure dengan diri sendiri. Humble bragging selalu mengandung konten positif berisi kebahagiaan. Jika kita pamer kebahagiaan atau konten positif ke orang lain mungkin tidak dicerca. Orang lain melihat akan takjub dengan apa yang dibagikan, di satu sisi lain juga akan merasa down disaat bersamaan. Di dalam artikel ini, kita tidak membicarakan perasaan iri terhadap kesuksesan orang lain. Namun juga, untuk orang yang berbagi juga harus memahami situasi dan tidak terkesan alay dalam membagikan sesuatu. Ini menyangkut tentang kesehatan mental seseorang. Kita tahu setiap orang memiliki kesehatan mental yang berbeda-beda. Setiap orang juga mempunyai sensitivitas yang berbeda tentang segala sesuatu.  Kita memang tidak tahu orang akan merasa sensitif atau merasa down saat kita memposting konten yang seperti apa. Walaupun jika niat kita tulus berbagi ‘murni’ tanpa embel-embel pamer terselubung.

 Artikel ini juga tidak melarang orang lain memposting kebahagiaan di media sosial supaya orang lain juga tidak merasa insecure. Karena setiap manusia mempunyak hak asasi manusia untuk bebas berpendapat terutama mempergunakan media sosial pribadi untuk kebutuhan kita. Baik untuk yang membagikan kebahagiaan atau yang melihat juga bebas mempergunakan akun media sosial sesuai keinginan mereka. Hanya saja kebebasan dalam membagikan sesuatu di media sosial haruslah elegan. Sebagai manusia biasa harusnya juga tidak membiasakan sikap humble bragging dalam bermedia sosial dan melakukan kebaikan. Seperti halnya bersedekah baik itu tidak dipamerkan maupun dipamerkan ke orang lain. Apabila tidak dipamerkan kita meniatkan semata-mata ibadah ke tuhan YME. Apabila dipamerkan, kita meniatkan hanya untuk ibadah dan menggugah kepedulian orang lain untuk ikut bersedekah.   

Comments

Popular posts from this blog

Mahasiswa UB Ubah Paitan Jadi Akarisida Pengendali Hama Tungau

Apa yang dimaksud dengan "Phile' ? dan Ketahui Jenis-jenis 'phile'

Susahnya Jadi Relawan, Kriterianya Tak Inklusif